Selasa, 25 Agustus 2015

Bahasa dan Usia

Usia menjadi faktor sosial lain yang menunjukkan perbedaan bahasa dalam masyarakat. Contoh paling mudah adalah perbedaan bahasa antara balita dan anak-anak. Balita cenderung mengucapkan kata atau bahasa yang sederhana, terdiri atas kalimat pendek dan tidak resmi bahkan tidak baku. Hal ini tentunya berbeda dengan remaja yang sudah melalui beberapa pembelajaran bahasa dan pergaulan sosial yang memungkinkan kemampuan berbahasanya lebih tinggi dibandingkan balita tadi. Kemampuan tersebut tidak hanya mengenai kosakata, tetapi juga diksi yang digunakan, termasuk juga kekompleksan kelaimat yang diujarkan.
Selain itu, jika sedikit meninjau ke usia yang lebih muda lagi, dapat diketahui bahwa balita cenderung mengucapkan bunyi-bunyi bilaial dan nasal, seperti [m], [b], [n]. Bunyi-bunyi ini tidak terjadi begitu saja atau karena si balita memilihnya. Pemroduksian bunyi tersebut disebabkan oleh alat artikulasi balita belum selengkap remaja atau bahkan dewasa, misalnya jumlah gigi yang sudah tumbuh dan panjang lidah.
Selain itu, usia pun menunjukkan pengaruhnya atau keterkaitannya dengan bahasa pada penggunaan bahasa slang. Remaja merupakan kelompok usia yang cenderung lebih sering menggunakan bahasa slang. Dalam hal ini, bahasa slang merupakan salah satu variasi bahasa yang sering kali berubah dan menjadi tanda atau identitas suatu kelompok tertentu. kebanyakan penggunaan bahasa slang ini merupakan bentuk keinginan untuk diakui dalam masyarakat yang tentunya berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Dengan sikap semacam ini, remaja sering kali tidak hanya menggunakan, tetapi justru juga menciptakan bahasa slang tersebut sebagai penandanya yang berbeda dari remaja lain.
Selain itu, stereotip bahwa bahasa slang hanya untuk remaja menjadi satu sebab ditinggalkannya bahasa tersebut oleh para dewasa. Keinginan diakui sebagai seseorang yang lebih dewasa dapat menjadi satu faktor paling mudah yang mempengaruhi.
Lain lagi dengan perbedaan usian antara remaja dengan lansia. Tentunya kedua rentang usia ini menunjukkan bahasa yang berbeda. Faktor adanya alat artikulasi yang tidak lagi sempurna menjadi satu faktor penyebab perbedaan. Misalnya, pengucapan bunyi [s] dan [r] antara kedua rentang usia tersebut pasti akan berbeda jika dikaitkan dengan kondisi gigi seri penuturnya. Lansia yang gigi serinya telah tanggal tidak akan menghasilkan kedua bunyi tadi sejelas remaja yang gigi serinya masih dalam keadaan sempurna dan sehat.
Dari sejumlah contoh kasus tesebut, dapat diketahui bahwa antara bahasa dan usia terjalin kaitan secara sosial, bahwa pada usia yang berbeda, bahasa yang diproduksi juga berbeda. Demikian pula sebaliknya bahwa bahasa yang digunakan, secara langsung ataupun tidak, seseorang akan dapat menebak rentang usia normal yang dimiliki seseorang tersebut.

Bahasa dan Masyarakat




Sosiolinguistik adalah satu cabang ilmu bahasa yang di dalamnya tercakup ilmu bahasa dan ilmu sosial. Salah satu bahasan di dalamnya adalah bahasa dan masyarakat. Keterkaitan antara bahasa dan masyarakat ini tentunya memunculkan fenomena bahasa yang tidak dapat terlepas dari masyarakat penggunanya. Ini berkaitan dengan pendapat Wardhaugh mengenai kemungkinan keterkaitan yang mungkin terjadi antara bahasa dan masyarakat, yaitu a) bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi, b) bahasa mempengaruhi masyarakat, c) masyarakat mempengaruhi bahasa, dan d) bahasa dan masyarakat tidak saling mempengaruhi.
Dari keempat kemungkinan kaitan bahasa dan masyarakat ini dapat dilihat bahwa fenomena bahasa dan variasi serta ragam bahasa yang ada dalam konteks sosial masyarakat sangat menarik untuk dikaji. Salah satu bentuk fenomena kaitan ini pernah disampaikan dalam sebuah pendapat. Mesthrie, dkk. (2001:6) menyatakan bahwa sebuah bahasa tidak hanya merupakan sarana penyampai ide dan maksud, tetapi juga berfungsi sebagai penanda mengenai kelas sosial, agama, atau gender tertentu yang dimiliki oleh penutur. Holmes (1992:3) pernah mempertanyakan “mengapa kita harus berbicara dengan cara yang berbeda?” Pertanyaan ini menuntut penjelasan yang sangat detail yang mengacu pada sebuah inti bahwa kondisi masyarakat yang berbeda, memunculkan berbagai jenis penggunaan bahasa yang berbeda pula.

Kondisi Bahasa Daerah



Kondisi masyarakat yang multikultural menjadikan suatu masyarakat tersebut sekaligus menjadi masyarakat multilingual. Masyarakat tersebut umumnya tidak hanya memiliki satu jenis bahasa yang dikuasai, tetapi juga sejumlah bahasa lain yang turut digunakan di lingkungannya. Indonesia merupakan satu negara multikultural dan multilingual yang tidak hanya terdiri atas bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa resmi, tetapi juga berbagai macam bahasa daerah dan bahasa lingua franca Internasional berupa bahasa asing. Umumnya, masyarakat Indonesia memiliki tiga bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan resmi kenegaraan, serta bahasa asing sebagai bahasa Lingua Franca Internasional.
Jika dikaitkan dengan kelangsungan hidup ketiga bahasa tadi, bahasa daerah menjadi bahasa yang nasibnya paling mengkhawatirkan. Kondisi bahasa Indonesia yang selalu wajib dikuasai di dunia pendidikan dan bahasa asing yang semakin hari semakin banyak dipilih untuk digunakan dalam layanan publik menjadikan bahasa daerah seakan tersingkirkan. Banyak dari orang tua kemudian memilih bahasa Indonesia atau bahasa asing, seperti bahasa Inggris, sebagai bahasa ibu untuk anak-anaknya. Tentunya kondisi semacam ini memerlukan perhatian lebih agar bahasa-bahasa daerah di Indonesia tetap hidup dan lestari pada tiap generasi Indonesia. 

Rabu, 22 Januari 2014

"Maaf, Fa." (#FF2in1)

"..."
"Jadi kita sudahi saja 4 tahun kita?" Perempuan itu menggigit bibir bahwanya, tanpa sengaja. Pertanyaan yang baru saja dilontarkannya sungguh terasa sakit di telinganya sendiri. Lelaki di depannya hanya diam.
"Jawab, Bi, jawab. Jangan diam saja." Lelaki yang dimaksud, yang berdiri dengan serba salah , menelan ludahnya, bulat-bulat, besar-besar, hingga tenggorokan yang tadi tercekat dan kering, terasa perih.
"Iya, Fa. Maaf. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Dengar, Fa." Tegas lelaki itu. "Orang tuamu ingin kamu segera menikah. Rama, datang padamu dan memintamu menjadi istrinya. Orang tuamu menyukainya. Kalian bisa menikah. Apalagi?"
Fa mendengus, hatinya sakit.
"Aku ingin yang ada di tempat Rama berdiri adalah kamu, Bian, kamu." Bian menarik napasnya, berat.
"A-aku tidak bisa, Fa. Bagaimana bisa jika harus sekarang. Aku tidak bisa jika harus menikah secepat yang orang tuamu minta. Aku tidak bisa membiarkan kamu menunggu sesuatu yang bahkan aku belum tahu kepastiannya ketika bahkan Rama menawarkan kepastian itu."
"...."
"Aku tidak bisa, Fa."
"Aku lebih tidak bisa, Bi. Please, pertimbangkan lagi dan..."
"Cukup, Fa. Aku benar-benar tidak bisa. Maaf, Fa." Fa menarik nafasnya dalam sebelum akhirnya menghapus semua derai yang membuat pipi tembamnya basah, membuat hidung mungilnya merah, bengkak. Ia mengangguk sekali.
"Oke, aku mengerti. Aku paham karena memang sejak awal hanya aku yang ada di medan pertempuran ini, berjuang sendiri. Kamu tidak. Kamu hanya diam di garis batas perlawanan and doing nothing. Kamu hanya takut kamu terluka. Lalu bagaimana dengan aku? Kamu akan membiarkan aku terluka sendiri?
"Justru itu bagian tersakitnya, Fa." Ia setengah membentak, sembari mengguncangkan pundak perempuan di depannnya, yang lambat laun bergetar menahan agar tidak menangis. "Itu bagian tersulit karena justru aku akan terus memandangi kamu tersakiti berada di medan itu sendiri tanpa bisa tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak bisa barang sedikutpun menyusulmu, berjuang bersamamu. AKu juga tidak bisa mengajakmu mundur dan menungguku sampai aku benar-benar bisa berada di sisimu, membelamu, berjuang bersama kamu."
Keduanya diam. Sama-sama merasakan betapa memang keduanya tidak bisa, keduanya harus pergi, memilih jalan yang berbeda. Saat kemudian mereka berpisah, menjauh, luka pada masing-masing hati itu makin lebar, menganga. Bian, dalam katupan kedua bibirnya, mengutuk dirinya berkali. Ia tahu ini salah, membiarkan Fa, orang tercintanya pergi. Namun, ia pun tidak bisa tetap membiarkan Fa menunggu, "Perempuan butuh kepastian, Le." begitu kata ibunya suatu kali.
Saat kemudian bayangan Fa menghilang, ia tahu, bayangan itu takkan pernah dilihatnya lagi. Ia telah melepasnya pergi.
Maaf, Fa.

Jumat, 17 Januari 2014

Elegi di Pagi Hari

Ah, pagi hujan. Sepagian ini aku masih bergumul dalam dua lapis selimut berwarna biru laut. Ini selimut... sial, mengapa aku masih memakainya. Oke, aku bilang ini selimut couple kami, aku dan dia.
Couple-an kok selimut.” Ingin aku lempar dengan panci ketika Rere, teman satu rumahku, berkomentar demikian.
Oke, ini hari Sabtu dan seharusnya aku lebih sibuk dengan mimpi keempat ku, terserah tentang apa. Mengapa keempat? Karena mimpi ketiga sudah aku jalani sebelum terbangun untuk shalat subuh untuk kemudian tidur lagi menyambut mimpi macam apa saja setelah mataku benar-benar telelap. Pekerjaan semacam editor memang jarang-jarang bisa menganggur seenak udelnya seperti sekarang. Tapi, itu seharusnya. Masih bisa ingat kan menagapa kata seharusnya di awal tadi aku miringkan? Itu memang karena semua yang aku ceritkan tentang mimpi keempat adalah seharusnya. Dan karena memang seharusnya, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Aku masih terjaga sejak subuh jam 4 pagi tadi. Aku tidak bisa tidur lagi.
Memilih novel karya Cristian Simamora berjudul All You Can Eat di saat genting seperti ini sungguh salahh besar.
Tema yang dibahas di dalamnya adalah mantan tak tau diri yang terang-terangan bercokol di otak para tokohnya. Mungkin, jika aku mengakui apa yang tengah bercokol juga di otakku sekarang, aku bisa menjadi salah satu tokoh tambahan di dalam novel itu. Shit. Mau sampai kapan, Em, menye-menye begitu?

Dan, here I am, mengurung diri di kamar, bergumul di dalam dua lapis selimut couple, menyumpal telinga dengan earphone yang menjuntai dari I-Pod berwarna merah muda. Lalu, memegang satu novel tebal yang aku bilang sial tadi sembari menatap hujan dari jendela yang sengaja aku buka gordennya. Sangat serasi dengan seting novel dalam naskah-naskah yang aku sunting setiap harinya. Aku sengaja melalukannya. Paling tidak aku bisa lah melupakannya, sebentar saja berada pada dimensi ruang yang berbeda, dengan menikmati me-time. Pengalihan dengan semua yang aku lakukan pagi ini sepertinya tidak cukup jika aku tidak mematikan alat komunikasi. Maka, semua akses seperti ponsel dan tablet galaxy 2 pemberian ayah pun sengaja aku nonaktifkan.
Pretending not to love you was the hardest thing I’ve ever done (Pretty Little liar, 2010 TV Series).
Ini kutipan yang baru saja aku baca pada halaman 395. Siaal! Bukannya teralihkan dari isu permantanan aku justru semakin tenggelam di dalamnya. Maka, tanpa lagi menunda, aku pun melepaskan novel tebal itu dan setengah melemparnya ke ujung tempat tidur. Helaan napas panjang itu menandakan bahwa ada sedikit lega. Aku ingin pengalihan bukan penguatan atas apa yang aku rasakan. Mimpi semalam, ah, sungguh tidak ada keingin lagi untuk mengingatnya. Tapi, entah siapa yang pertama kali menjadikan mimpi sebagai bagian dari bunga tidur jika yang dimimpikan adalah hal yang bahkan jauh dari keindahan. Bunga itu indah, dan mimpi berisi mantan kekasih yang ingin setengah mati dilupakan bukan suatu keindahan.
Kamu, ya, kamu, datang semalam tanpa permisi lebih dulu. Kamu datang dalam mimpiku dengan serta merta mengajakku berkenalan dengan orang tuamu. Sialnya lagi, aku hanya bersedia dengan segala macam tetek bengek kebahagiaan menggantung di pelupuk mata yang berbinar. Namanya juga mimpi, aku bisa melihat diriku sendiri di dalamnya sekaligus merakan apa yang dirasakan tokoh yang aku lihat. Oh, mimpi yang oh-so-absurd ini berlanjut ketika kamu kemudian menyebutkan bahwa lelaki yang duduk di kemudi mobil berwarna metalik itu adalah ayahmu. Ayah yang kamu banggakan dan selalu kamu sebut sebagai seseorang yang ingin sekali kamu tiru caranya melindungi istrinya. Lalu, ketika kemudian mataku beralih pada wanita di jok belakang, tepat di belakang ayahmu, wanita itu tersenyu, ramah sekali. Bahkan aku mampu menjadi pengagumnya di pandangan pertama. Itu ibumu, katamu. Ibu yang selama ini kamu panggil dengan ‘mama’ pada suatu ketika kita bersama dan beliau menelpon, menanyakan apakah kamu tidak lupa mengantarkan surat titipan untuk wali kelas adikmu yang tengah sakit.
Lalu, ketika aku jabat tangannya, tangan itu lembut sekali, tangan yang sering kamu bilang pandai mengolah masakan menjadi materpiecenya. Dan satu koemntar yang aku terima kemudian di sela jabat tangan singkat itu sungguh membuat hatiku bengkak.
“Ema, ya? Lebih cantik ya dari yang sering Pandu ceritakan pada mama.”
Aku hanya tersenyum. Dan seperti yang aku lihat, senyumku saat itu, semalam, sungguh senyum bahagia. Seerpti itukah raut wajahku ketika aku ada di sekitarmu, Ndu? Seperti itukah raut mukaku tiap kamu dengan sengaja datang mengetuk pintu apartemenku dan mengucap Aku kangen kamu di detik pertama aku membukakan pintu? Seperti itukah juga raut muka yang aku punya sebelum kamu bilang Kita sudahi saja ya semuanya? Lalu, seperti itukah raut muka yang rela kamu tinggalkan untuk pergi selamanya bersama gadis piliha orang tuamu. Orang tua yang baru saja kamu perkenalkan dalam mimpi semalam. Mereka memilih gadis terbaiknya untukmu, gadis yang tidak banyak mengikutseratakan orang tua dalam hubungan kalian, gadis yang tidak banyak protes ketika kamu mencetuskan sebuah isu untuk diperbincangkan dengan serius, layaknya para politikus berdebat di layar kaca televisi. Lalu, satu lagi, gadis itu adalah gadis yang usianya jauh di bawahmu, bukan gadis yang seurusia dengan mu atau lebih tua dari mu. Kamu masih ingatkan, kamu pernah bilang, ayahmu tidak setuju jika kamu menikah dengan wanita yang lebih tua dari mu, barang 3 bulan, seperti aku? Maka, selamat ya adalah kalimat terakhir yang aku ucapkan untukmu di hari pertunangan kalian hari itu.
Kamu tahu, Ndu, gambaran orang tua yang sungguh ramah, dengan suara berat ayahmu yang penuh wibawa, dan tangan halus mamamu yang kamu bilang pandai memasak itu hilang. Sama sekali. Bukan aku membenci mereka. Bahkan mereka berhak membuangku jauh di ujung kutub jika memang perlu karena mereka adalah orang tuamu yang ingin hal terbaik untuk hidup anak laki-laki satu-satunya. Tapi, Pandu, biasakah kamu pergi dengan membawa semua memori yang aku punya. Atau, paling tidak, bisakah kamu lempar aku ke masa lalu agar ketika siang gerimis itu aku mengatakan tidak saja atas ajakan kamu untuk kita berjanji menjadikan aku dan kamu menjadi kita?
Tanpa sadar, mataku terpejam. Bukan tidur. Aku menahan agar aku tidak terisak lagi. Oke, itu hanya usaha karena bagaimanapun aku berusaha, mataku tetap basah. Aku tetap terisak di tempat tidurku, berselimut couple yang entah kapan akan aku singkapkan untuk tidak lagi aku gunakan. Alih-alih membuangnya ke ujung tempat tidur, aku justru merapatkan selimut itu penuh hingga ke dahu, menyisakan kepalaku yang tampak tenggelam di antara bantal bersepreai coklat muda dengan motif batik pemberian Eyang Lebaran lalu.
Ting tong!
Aku tersentak, kaget. Bel sialan! Aku merutuk. Pukul 06.13 tertera pada jam digital di atas nakas. Siapa yang sepagi ini datang? Oh please, ini hari sabtu dan biasakan aku memperlakukannya sebagai hari sabtu dan bukan hari senin-selasa-rabu-kamis-jumat??
Mataku sembab ketika aku menghadap kaca. Sungguh pemandangan terkacau yang aku lihat. Rambutku yang masih tersanggul berantakan, piyama krem selutut yang tampak kusut, dan kerutan pada wajah bekas lipatan bantal dan seprainya sukses membuat wajahku lebih mirip zombie yang berkeliaran di serial The Walking Dead yang aku tonton setiap senin malam. Maka, aku raih kacamata nonminus dari laci nakas, sekadar menutupi lingkar hitam di bagian bawah mataku.
Ting tong!
Hhh, aku mendengus. Ingin sekali aku melempar apa saja yang ada di sekelilingku ke arah bel sialan itu. Juga ke pemencet bel yang kurang ajar pagi-pagi begini menyantroni seorang single menyedihkan seperti aku. Memangnya, tidak ada hari lain sampai sabtu-sabtu begini menggedor, oke, memencet bel berkali, di pagi buta pun?—karena menurutku pagi yang pantas diguanakan untuk bertamu adalah pukul 10.
Ting tong!
Shit!
“Iya, iya, bisa sabar nggak sih? Kelakuan banget ya.....”
Clek! Aku membuka pintu “.....pagi-pagi gini mencetin bel rum......”
“.......”
Aku terpengarah saat pintu benar-benar terbuka.
“Pagi, Mbak Ema.”
Aku menelan ludah. Menelannya besar-besar. Kalau pun bisa, menelan seluruh omelanku tadi, berharap tidak pernah ada yang mendengar dan bahkan tersakiti karenanya. Aku tersenyum getir.
“Pagi.” Aku membalas sapaannya. Klasik. “Ada apa Mas?” Tanyaku saat kesadaranku benar-benar sudah meraja, menyadari bahwa yang tengah ku hadapi adalah asisten bosku, Mas Arya, yang ketika aku sapa ia tampak menahan senyum. Mungkin ini baru pertama kalinya ia melihat diriku versi zombie begini.
“Maaf sekali mengganggu hari sabtumu. Tadi saya telpon dan sms tidak ada yang terjawab. Jadi saya ke sini.” Tanpa sengaja aku menggigit bibir bawah. Tentu saja tak terjawab karena semua sarana komunikasi aku matikan.
“Maaf, Mas, belum sempat saya hidupkan lagi sejak semalam.” Bohongku padanya.
Wajah tirusnya masih tersenyum ketika menggeleng. “Tidak apa-apa.”
Kemudian, tangannya tampak terulur, menyodorkan sebuah amplop coklat.
“Bos minta saya mengantarkan naskah ini. Penulisnya minta rilis sebelum valentine dan....” Ia menyodorkan amplot coklat lainnya. “Ini titipan dari bos yang kedua. Katanya sebagai ganti hari sabtu yang seharusnya mbak nikmati sebagai hari libur.”
Aku tersenyum lagi, tapi mungkin lebih getir dari sebelumnya. Sialan banget. Model-model bos nyogok gini yang nggak bisa aku tolak. Arrgh!
“Jadi, harus kapan saya kumpulkan naskahnya, Mas?”
Dia tampak melihat buku agenda yang sengaja ia pegang, tidakia simpan di dalam tas. “Kira-kira, dua minggu lagi, bisa?” Aku menganga tanpa sadar mendengar tenggat waktu yang diberikan. Mataku beralih seketika ke amplop coklat nan tebal luar biasa di tangaku.
“Ini penting dan ketika nanti rencana pembuatan film dari naskah itu diterima, kemungkinan Mbak dipromosikan sebagai kandidat ketua editor, kata bos, lebih besar.
Bagus! Terus saja menjual janji manis.
“Oke, aku usahakan ya. Dan sampaikan pada bos, saya memilih mengerjakan ini di rumah.” Kataku, pasrah.
“Baik, Mbak.” Sahutnya, sembari membereskan buku agenda di tangannya, memasukukkannya ke dalam tas yang ia bawa di tangan kiri.
“Kalau begitu, saya mohon pamit. Semoga lancar ya, Mbak.”
“Iya, Mas, terima kasih.”
Setelah Mas Arya pulang dan pintu tertutup, aku mencelos, melorot di sofa sembari menatap nanar amplop coklat di pangkuanku berisi naskah novel kejar tayang. Lalu beralih ke amplop satunya, yang ternyata setelah ku buka, berisi tiket liburan ke bali bulan Februari nanti lengkap dengan voucher gratis belanja gila di Joger. Saya harap bonus ini bisa menjadi ganti lemburmu selama dua minggu ke depan, Ema. Tulisan itu terselip di tumpukan paling atas dari tiket dan sejumlah voucher yang kusebutkan tadi. Aku menghela napas, pasrah.
Sabtu? Me-time? Good Bye! Melow drama ala telenovela, good bye juga. Aku harus berubah sedemikian rupa menjadi wonder woman yang bisa dengan sigap mengganti suasana hati seketika dari menyedihkan-penuh-luka dengan penuh-bahagia-ceria-sepanjang-masa. Sulit? Pasti. Dan aku harus berjuang dengan segala macam tenaga yang aku bisa. Kecuali, aku akan menjadi satu-satunya manusia berdosa di kantor karena sudah mengabaikan tugas gara-gara mimpi dan mantan sialan, lalu menyebabkan tiket liburan yang menggiurkan itu dibatalkan secara tidak hormat.
Pagi masih hujan ketika aku kembali dari kamar mandi, mencuci muka. Aku memlih duduk di sofa ruang tengah, di depan televisi yang aku biarkan mati. I-Pod warna merah jambu tadi, kembali aku sumpalkan earphone nya ke telinga. Cukup itu saja dan aku tidak butuh selimut couple dua lapis itu. Aku butuh pengalihan dan mungkin rasa dingin beserta setumpuk naskah tebal ini adalah pengalihan terbaik yang aku dapatkan.
Mery, nama itu sungguh mencekam jika dikaitakan dengan tokoh hantu Amerika yang gemar muncul di depan cermin kamar mandi setelah dipanggil namanya sebanyak tiga kali.
Kalimat awalan itu yang kemudian menyapa lensa mataku, menenggelamkan otakku, menjadi pengalihan dari elegi pagi yang belum sepenuhnya pergi.  

-end-

Sabtu, 14 Desember 2013

jangan main-main dengan cinta



"jangan main-main dengan cinta, kalau ledakannya salah arah, kamu akan terluka." katanya tanpa berpaling dari gitar di tangannya. dia Haris, sahabatku sejak kami bahkan belum bisa membedakan bunyi l dan r. kami tumbuh bersama layaknya saudara. ohya, ujaran tadi ia lontarkan saat aku dengan semangatnya menceritakan lelaki bernama Bian, lelaki yang aku kenal dari sebuah komunitas pembaca novel asing. Nama John Green, Nicholas Spark, juga Dan Brown kerap menjadi jembatan percakapan yang terjadi. dan malam itu, Bian baru saja mengajakku ke tempatnya biasa menghabiskan waktu bersama karib-karibnya.
"Ah, kau tidak tahu saja bagaimana caranya ia mempelakukanku di depan teman-temannya tadi.” seperti biasa, Haris hanya menoleh sejenak dan tidak memberikan komentar lagi, kebiasaan yang sudah aku hafal sejak dulu: tidak banyak bicara.
dan malam itu, satu minggu kemudian, Haris yang memang tidak banyak bicara, hanya diam mendapatiku menangis di ambang pintu kamarnya: Bian berbohong dan aku terluka. ledakan cintanya membuatku tersakiti. Haris yang tengah sibuk dengan gitarnya tampak terkejut melihatku. yang kemudian ia lakukan hanya melepaskan gitarnya, mendatangiku di pintu kamarnya, dan meraih tubuhku yang sudah lelah menangis ke dalam pelukannya.
“Sssh.” hanya desis itu yang aku dengar setelahnya. dan menit selanjutnya, luka terbakar karena ledakan cinta Bian berangsur sembuh.

Senin, 09 Desember 2013

Terminal

sampai kapanpun, terminal akan tetap menjadi tempat singgah, hanya tempat singgah. yang kemudian datang hanya bersedia berbagi oksigen dengan sesama di sana dalam jangka waktu yang dapat dihitung dengan jari: 1, 2, 3 jam. selebihnya, mereka akan melakukannya di tempat lain, di tujuan yang lebih pasti dari sekadar bertatap muka sejenak untuk saing menyapa 'mau pulang kemana?' mereka tidak berniat tinggal, tapi hanya berniat mengukir kenangan sepenggal.
kalau pun memang ada yang sampai tertidur di sana, lelap yang terasa akan dikibas sekuat tenaga saat kemudian terjaga, agar segera pergi. kalau pun sampai akhirnya aksi berbagi okesigen tadi menjadi lebih lama, lebih dari 3 jam, bahkan mungkin sehari semalam, gerutu itu saling bersahut karena jengah tidak betah.
'kapan kita berangkat??' dan tanya itulah yang terselip di antaranya, paling tidak.

begitulah aku bagimu: tempatmu pulang sementara untuk kembali pergi. kamu adalah pejalan dan aku adalah terminal, tempatmu melepaskan lelah, sejenak, untuk kemudian berlalu tanpa berpikir lagi untuk menyempatkan bilang 'aku akan kembali.' hitungan jari 1, 2, 3 jam pun berlaku untuk ini karena kamu akan berkali melihat arloji pemberianku itu sampai kemudian kalimat 'aku pamit pulang' terucap dengan sangat rapih dari bibirmu. kamu jengah, tidak betah berada di sekitarku.
maka, ketika kemudian pada suatu malam nanti kamu datang mengetuk pintu depan rumahku, aku harus siap melepasmu lagi, harus siap membiarkan gelas berisi minuman favoritmu itu kembali tergantung di antara perkakas becah belah yang lain. juga, sampai jika malam berikutnya aku hanya menemukan sisa wangi parfum maskulinmu di antara sofa yang cekung karena kau duduki, atau bahkan aku menemukan kesepian jemu tanpa adanya suara pencet bel dari tanganmu, aku harus sudah bisa memastikan bahwa saat itulah kamu mengucapkan selamat tinggal.