Ah, pagi hujan. Sepagian ini
aku masih bergumul dalam dua lapis selimut berwarna biru laut. Ini
selimut... sial, mengapa aku masih memakainya. Oke, aku bilang ini
selimut couple kami, aku dan dia.
“Couple-an kok selimut.” Ingin aku lempar dengan panci ketika Rere, teman satu rumahku, berkomentar demikian.
Oke, ini hari Sabtu dan seharusnya
aku lebih sibuk dengan mimpi keempat ku, terserah tentang apa. Mengapa
keempat? Karena mimpi ketiga sudah aku jalani sebelum terbangun untuk
shalat subuh untuk kemudian tidur lagi menyambut mimpi macam apa saja
setelah mataku benar-benar telelap. Pekerjaan semacam editor memang
jarang-jarang bisa menganggur seenak udelnya seperti sekarang. Tapi, itu
seharusnya. Masih bisa ingat kan menagapa kata seharusnya di awal tadi
aku miringkan? Itu memang karena semua yang aku ceritkan tentang mimpi
keempat adalah seharusnya. Dan karena memang seharusnya, yang terjadi
sekarang adalah sebaliknya. Aku masih terjaga sejak subuh jam 4 pagi
tadi. Aku tidak bisa tidur lagi.
Memilih novel karya Cristian Simamora berjudul All You Can Eat di saat genting seperti ini sungguh salahh besar.
Tema yang dibahas di dalamnya adalah mantan tak tau diri yang terang-terangan
bercokol di otak para tokohnya. Mungkin, jika aku mengakui apa yang
tengah bercokol juga di otakku sekarang, aku bisa menjadi salah satu
tokoh tambahan di dalam novel itu. Shit. Mau sampai kapan, Em, menye-menye begitu?
Dan, here I am, mengurung diri di kamar, bergumul di dalam dua lapis selimut couple, menyumpal telinga dengan earphone yang
menjuntai dari I-Pod berwarna merah muda. Lalu, memegang satu novel
tebal yang aku bilang sial tadi sembari menatap hujan dari jendela yang
sengaja aku buka gordennya. Sangat serasi dengan seting novel dalam
naskah-naskah yang aku sunting setiap harinya. Aku sengaja melalukannya.
Paling tidak aku bisa lah melupakannya, sebentar saja berada pada
dimensi ruang yang berbeda, dengan menikmati me-time. Pengalihan
dengan semua yang aku lakukan pagi ini sepertinya tidak cukup jika aku
tidak mematikan alat komunikasi. Maka, semua akses seperti ponsel dan
tablet galaxy 2 pemberian ayah pun sengaja aku nonaktifkan.
Pretending not to love you was the hardest thing I’ve ever done (Pretty Little liar, 2010 TV Series).
Ini
kutipan yang baru saja aku baca pada halaman 395. Siaal! Bukannya
teralihkan dari isu permantanan aku justru semakin tenggelam di
dalamnya. Maka, tanpa lagi menunda, aku pun melepaskan novel tebal itu
dan setengah melemparnya ke ujung tempat tidur. Helaan napas panjang itu
menandakan bahwa ada sedikit lega. Aku ingin pengalihan bukan penguatan
atas apa yang aku rasakan. Mimpi semalam, ah, sungguh tidak ada keingin
lagi untuk mengingatnya. Tapi, entah siapa yang pertama kali menjadikan
mimpi sebagai bagian dari bunga tidur jika yang dimimpikan adalah hal
yang bahkan jauh dari keindahan. Bunga itu indah, dan mimpi berisi
mantan kekasih yang ingin setengah mati dilupakan bukan suatu keindahan.
Kamu,
ya, kamu, datang semalam tanpa permisi lebih dulu. Kamu datang dalam
mimpiku dengan serta merta mengajakku berkenalan dengan orang tuamu.
Sialnya lagi, aku hanya bersedia dengan segala macam tetek bengek
kebahagiaan menggantung di pelupuk mata yang berbinar. Namanya juga
mimpi, aku bisa melihat diriku sendiri di dalamnya sekaligus merakan apa
yang dirasakan tokoh yang aku lihat. Oh, mimpi yang oh-so-absurd ini
berlanjut ketika kamu kemudian menyebutkan bahwa lelaki yang duduk di
kemudi mobil berwarna metalik itu adalah ayahmu. Ayah yang kamu
banggakan dan selalu kamu sebut sebagai seseorang yang ingin sekali kamu
tiru caranya melindungi istrinya. Lalu, ketika kemudian mataku beralih
pada wanita di jok belakang, tepat di belakang ayahmu, wanita itu
tersenyu, ramah sekali. Bahkan aku mampu menjadi pengagumnya di
pandangan pertama. Itu ibumu, katamu. Ibu yang selama ini kamu panggil
dengan ‘mama’ pada suatu ketika kita bersama dan beliau menelpon,
menanyakan apakah kamu tidak lupa mengantarkan surat titipan untuk wali
kelas adikmu yang tengah sakit.
Lalu, ketika aku jabat tangannya,
tangan itu lembut sekali, tangan yang sering kamu bilang pandai mengolah
masakan menjadi materpiecenya. Dan satu koemntar yang aku terima
kemudian di sela jabat tangan singkat itu sungguh membuat hatiku
bengkak.
“Ema, ya? Lebih cantik ya dari yang sering Pandu ceritakan pada mama.”
Aku
hanya tersenyum. Dan seperti yang aku lihat, senyumku saat itu,
semalam, sungguh senyum bahagia. Seerpti itukah raut wajahku ketika aku
ada di sekitarmu, Ndu? Seperti itukah raut mukaku tiap kamu dengan
sengaja datang mengetuk pintu apartemenku dan mengucap Aku kangen kamu di detik pertama aku membukakan pintu? Seperti itukah juga raut muka yang aku punya sebelum kamu bilang Kita sudahi saja ya semuanya?
Lalu, seperti itukah raut muka yang rela kamu tinggalkan untuk pergi
selamanya bersama gadis piliha orang tuamu. Orang tua yang baru saja
kamu perkenalkan dalam mimpi semalam. Mereka memilih gadis terbaiknya
untukmu, gadis yang tidak banyak mengikutseratakan orang tua dalam
hubungan kalian, gadis yang tidak banyak protes ketika kamu mencetuskan
sebuah isu untuk diperbincangkan dengan serius, layaknya para politikus
berdebat di layar kaca televisi. Lalu, satu lagi, gadis itu adalah gadis
yang usianya jauh di bawahmu, bukan gadis yang seurusia dengan mu atau
lebih tua dari mu. Kamu masih ingatkan, kamu pernah bilang, ayahmu tidak
setuju jika kamu menikah dengan wanita yang lebih tua dari mu, barang 3
bulan, seperti aku? Maka, selamat ya adalah kalimat terakhir yang aku ucapkan untukmu di hari pertunangan kalian hari itu.
Kamu
tahu, Ndu, gambaran orang tua yang sungguh ramah, dengan suara berat
ayahmu yang penuh wibawa, dan tangan halus mamamu yang kamu bilang
pandai memasak itu hilang. Sama sekali. Bukan aku membenci mereka.
Bahkan mereka berhak membuangku jauh di ujung kutub jika memang perlu
karena mereka adalah orang tuamu yang ingin hal terbaik untuk hidup anak
laki-laki satu-satunya. Tapi, Pandu, biasakah kamu pergi dengan membawa
semua memori yang aku punya. Atau, paling tidak, bisakah kamu lempar
aku ke masa lalu agar ketika siang gerimis itu aku mengatakan tidak saja atas ajakan kamu untuk kita berjanji menjadikan aku dan kamu menjadi kita?
Tanpa
sadar, mataku terpejam. Bukan tidur. Aku menahan agar aku tidak terisak
lagi. Oke, itu hanya usaha karena bagaimanapun aku berusaha, mataku
tetap basah. Aku tetap terisak di tempat tidurku, berselimut couple yang
entah kapan akan aku singkapkan untuk tidak lagi aku gunakan. Alih-alih
membuangnya ke ujung tempat tidur, aku justru merapatkan selimut itu
penuh hingga ke dahu, menyisakan kepalaku yang tampak tenggelam di
antara bantal bersepreai coklat muda dengan motif batik pemberian Eyang
Lebaran lalu.
Ting tong!
Aku tersentak, kaget. Bel
sialan! Aku merutuk. Pukul 06.13 tertera pada jam digital di atas nakas.
Siapa yang sepagi ini datang? Oh please, ini hari sabtu dan biasakan aku memperlakukannya sebagai hari sabtu dan bukan hari senin-selasa-rabu-kamis-jumat??
Mataku
sembab ketika aku menghadap kaca. Sungguh pemandangan terkacau yang aku
lihat. Rambutku yang masih tersanggul berantakan, piyama krem selutut
yang tampak kusut, dan kerutan pada wajah bekas lipatan bantal dan
seprainya sukses membuat wajahku lebih mirip zombie yang berkeliaran di
serial The Walking Dead yang aku tonton setiap senin malam.
Maka, aku raih kacamata nonminus dari laci nakas, sekadar menutupi
lingkar hitam di bagian bawah mataku.
Ting tong!
Hhh,
aku mendengus. Ingin sekali aku melempar apa saja yang ada di
sekelilingku ke arah bel sialan itu. Juga ke pemencet bel yang kurang
ajar pagi-pagi begini menyantroni seorang single menyedihkan
seperti aku. Memangnya, tidak ada hari lain sampai sabtu-sabtu begini
menggedor, oke, memencet bel berkali, di pagi buta pun?—karena menurutku
pagi yang pantas diguanakan untuk bertamu adalah pukul 10.
Ting tong!
Shit!
“Iya, iya, bisa sabar nggak sih? Kelakuan banget ya.....”
Clek! Aku membuka pintu “.....pagi-pagi gini mencetin bel rum......”
“.......”
Aku terpengarah saat pintu benar-benar terbuka.
“Pagi, Mbak Ema.”
Aku
menelan ludah. Menelannya besar-besar. Kalau pun bisa, menelan seluruh
omelanku tadi, berharap tidak pernah ada yang mendengar dan bahkan
tersakiti karenanya. Aku tersenyum getir.
“Pagi.” Aku membalas
sapaannya. Klasik. “Ada apa Mas?” Tanyaku saat kesadaranku benar-benar
sudah meraja, menyadari bahwa yang tengah ku hadapi adalah asisten
bosku, Mas Arya, yang ketika aku sapa ia tampak menahan senyum. Mungkin
ini baru pertama kalinya ia melihat diriku versi zombie begini.
“Maaf
sekali mengganggu hari sabtumu. Tadi saya telpon dan sms tidak ada yang
terjawab. Jadi saya ke sini.” Tanpa sengaja aku menggigit bibir bawah.
Tentu saja tak terjawab karena semua sarana komunikasi aku matikan.
“Maaf, Mas, belum sempat saya hidupkan lagi sejak semalam.” Bohongku padanya.
Wajah tirusnya masih tersenyum ketika menggeleng. “Tidak apa-apa.”
Kemudian, tangannya tampak terulur, menyodorkan sebuah amplop coklat.
“Bos
minta saya mengantarkan naskah ini. Penulisnya minta rilis sebelum
valentine dan....” Ia menyodorkan amplot coklat lainnya. “Ini titipan
dari bos yang kedua. Katanya sebagai ganti hari sabtu yang seharusnya
mbak nikmati sebagai hari libur.”
Aku tersenyum lagi, tapi mungkin
lebih getir dari sebelumnya. Sialan banget. Model-model bos nyogok gini
yang nggak bisa aku tolak. Arrgh!
“Jadi, harus kapan saya kumpulkan naskahnya, Mas?”
Dia
tampak melihat buku agenda yang sengaja ia pegang, tidakia simpan di
dalam tas. “Kira-kira, dua minggu lagi, bisa?” Aku menganga tanpa sadar
mendengar tenggat waktu yang diberikan. Mataku beralih seketika ke
amplop coklat nan tebal luar biasa di tangaku.
“Ini penting dan
ketika nanti rencana pembuatan film dari naskah itu diterima,
kemungkinan Mbak dipromosikan sebagai kandidat ketua editor, kata bos,
lebih besar.
Bagus! Terus saja menjual janji manis.
“Oke, aku usahakan ya. Dan sampaikan pada bos, saya memilih mengerjakan ini di rumah.” Kataku, pasrah.
“Baik, Mbak.” Sahutnya, sembari membereskan buku agenda di tangannya, memasukukkannya ke dalam tas yang ia bawa di tangan kiri.
“Kalau begitu, saya mohon pamit. Semoga lancar ya, Mbak.”
“Iya, Mas, terima kasih.”
Setelah
Mas Arya pulang dan pintu tertutup, aku mencelos, melorot di sofa
sembari menatap nanar amplop coklat di pangkuanku berisi naskah novel
kejar tayang. Lalu beralih ke amplop satunya, yang ternyata setelah ku
buka, berisi tiket liburan ke bali bulan Februari nanti lengkap dengan
voucher gratis belanja gila di Joger. Saya harap bonus ini bisa menjadi ganti lemburmu selama dua minggu ke depan, Ema. Tulisan itu terselip di tumpukan paling atas dari tiket dan sejumlah voucher yang kusebutkan tadi. Aku menghela napas, pasrah.
Sabtu? Me-time? Good Bye! Melow drama ala telenovela, good bye juga. Aku harus berubah sedemikian rupa menjadi wonder woman yang
bisa dengan sigap mengganti suasana hati seketika dari
menyedihkan-penuh-luka dengan penuh-bahagia-ceria-sepanjang-masa. Sulit?
Pasti. Dan aku harus berjuang dengan segala macam tenaga yang aku bisa.
Kecuali, aku akan menjadi satu-satunya manusia berdosa di kantor karena
sudah mengabaikan tugas gara-gara mimpi dan mantan sialan, lalu
menyebabkan tiket liburan yang menggiurkan itu dibatalkan secara tidak
hormat.
Pagi masih hujan ketika aku kembali dari kamar mandi,
mencuci muka. Aku memlih duduk di sofa ruang tengah, di depan televisi
yang aku biarkan mati. I-Pod warna merah jambu tadi, kembali aku
sumpalkan earphone nya ke telinga. Cukup itu saja dan aku tidak butuh selimut couple
dua lapis itu. Aku butuh pengalihan dan mungkin rasa dingin beserta
setumpuk naskah tebal ini adalah pengalihan terbaik yang aku dapatkan.
Mery,
nama itu sungguh mencekam jika dikaitakan dengan tokoh hantu Amerika
yang gemar muncul di depan cermin kamar mandi setelah dipanggil namanya
sebanyak tiga kali.
Kalimat awalan itu yang kemudian menyapa
lensa mataku, menenggelamkan otakku, menjadi pengalihan dari elegi pagi
yang belum sepenuhnya pergi.
-end-